Senin, 25 Maret 2019

Larilah kepada Tuhan (Selasa, 26 Maret 2019)


Larilah kepada Tuhan
Selasa, 26 Maret 2019


Dan. 3 : 25. 34 – 43
Mat. 18 : 21 – 25


Kitab Tambahan Daniel dalam bacaan pertama hari ini menampilkan doa Azarya dari tengah tanur api. Azarya dicampakkan dalam tanur api karena ia menolak menyembah patung lembu emas yang dibangun Raja Nebukadnesar. Doa Azarya adalah sebentuk ungkapan penyerahan diri, juga lahir dari keyakinan pasti bahwa Tuhan tidak akan mempermalukan orang yang menaruh pengharapan padaNya dan tidak akan meninggalkan hambaNya mati binasa. “Sebab, tidak dikecewakanlah mereka yang percaya kepadamu. Janganlah kami Kaupermalukan, tetapi perlakukanlah kami sesuai kemurahanMu, menurut besarnya belas kasihanMu.”

Dua hal pokok dapat kita belajar dari Azarya. Pertama, konsisten dan komitmen pada imannya. Azarya memilih untuk tidak mengikuti perintah sang raja menyembah patung lembu emas, dan lebih memilih mati daripada harus menyangkal imannya akan Allah. Dengan ini, Azarya memberi kita contoh tentang konsistensi dan komitman kemuridan pada iman yang kita anut. Azarya mengajak kita untuk tidak berpindah keyakinan, untuk selalu setia pada iman yang kita anut, untuk tidak meninggalkan iman hanya karena ancaman atau tawaran lain yang lebih menggoda.

Kedua, larilah kepada Tuhan. Dalam situasi paling sulit dalam hidupnya, ketika segala sesuatu tampak mustahil, Azarya tahu satu-satunya sandaran hatinya hanya Allah. Ia lari kepada Allah, dan kita tahu, Allah menjawab doa dan jeritan hati Azarya. Allah menunjukkan identitasNya sebagai Bapa penuh kasih bagi Azarya, Bapa yang tidak pernah meninggalkan anak-anaknya menderita seorang diri. Azarya mengajak kita hari ini untuk membawa aneka persoalan kita kepada Tuhan. Larilah kepada Tuhan. Jangan melarikan diri ke media sosial lewat status facebook, atau dalam perbincangan dengan tetangga. Larilah kepada Tuhan lewat lantun doa, mohonlah bimbingan Tuhan lewat kitab suci, dan mintalah kekuatan Tuhan lewat ekaristi.

Dalam bacaan Injil, Yesus meminta kita untuk mengampuni tujuh puluh kali tujuh kali. Angka yang diungkapkan Yesus, pertama-tama bukan soal jumlah, tetapi terutama tentang kesanggupan untuk mengampuni tanpa batas: mengampuni seperti Bapa mengampuni kita. Dengan menyebut angka ini, Yesus juga sebenarnya mau mengatakan bahwa sangat tidak elok dan tidak pantas kita memperhitungkan semua kesalahan yang diperbuat oleh saudara-saudara kita kepada kita; seolah-olah, jika jumlah kesalahan itu telah melampaui standar yang kita tetapkan, kita harus membalas semuanya itu. Yesus meminta kita semua hari ini, untuk menjadikan pemberian maaf sebagai kebiasaan yang harus kita hidupi setiap hari. 

Tuhan memberkati kita. (p.kristo,svd)

Minggu, 24 Maret 2019

Belajar dari Maria (Senin, 25 Maret 2019)


Belajar dari Maria
Senin, 25 Maret 2019
(Hari Raya Kabar Sukacita)


Yes. 7 : 10 – 14; 8 : 10
Ibr. 10 : 4 – 10
Luk. 1 : 26 – 38


Kelahiran Yesus Kristus melalui rahim Bunda Maria sudah diriwayatkan sejak Perjanjian Lama, seperti yang kita dengar dalam bacaan pertama. Kepada Ahas, Yesaya menubuatkan, ‘sesungguhnya seorang perempuan muda akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Emanuel,’. Emanuel, yang akan datang itu, seperti tertulis dalam surat kepada orang Ibrani, dalam bacaan kedua, datang untuk melakukan kehendak Allah. “Lihatlah Aku datang untuk melakukan kehendak-Mu.” Rumusan ini diulang sebanyak dua kali dalam Surat kepada Orang Ibrani ini. Pengulangan seperti ini, menunjukkan fungsi penting rumusan ini untuk menegaskan dengan sungguh bahwa Tuhan Yesus datang ke dunia untuk menjalankan misi Allah yakni keselamatan manusia.

Maria, dalam bacaan Injil, menerima tugas perutusan menjadi ibu Tuhan dengan penuh kepasrahan, ‘Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu’. Maria, di usianya yang masih belia, rela meninggalkan mimpi-mimpi masa mudanya, dan meletakkan rencana Allah di atas segalanya. Konsistensi dan kesetiaan Maria pada janjinya ini, senantiasa diuji dalam seluruh ziarah kemuridannya: dari kelahiran Tuhan hingga kematian-Nya di Golgota. Maria menjadi ibu Tuhan, dan di bawah salib di bukit Golgota, ia juga menjadi ibu semua manusia. ‘Ibu, inilah anakmu; anak, inilah ibumu’. Dari Maria, kita belajar tentang militansi murid Tuhan: murid yang meletakkan rencana Allah di atas segala kepentingan pribadinya, murid yang setia pada janjinya, murid yang berkomitmen sungguh pada pemberian diri bagi Allah.

Seperti Maria, kita juga dipanggil untuk menjalankan tugas perutusan yang dipercayakan Allah kepada kita masing-masing. Ada yang dipanggil untuk menjadi orangtua, biarawan-biarawati, guru, dan aneka panggilan dan pilihan hidup lainnya. Baiklah kita melihat tugas perutusan ini sebagai jalan untuk memuliakan Allah dan membaktikan hidup bagi sesama kita. Ketika hari ini, kita merayakan Hari Raya Kabar Sukacita, marilah kita ingat bahwa kita juga dipanggil untuk menjadi tanda sukacita dan harapan bagi sesama kita. Marilah kita memulainya dari dalam keluarga kita masing-masing.

Tuhan memberkati kita (p.kristo)

Jumat, 22 Maret 2019

Menyadari Keberdosaan (Sabtu, 23 Maret 2019)


Menyadari Keberdosaan
Sabtu, 23 Maret 2019


Mi. 7 : 14 – 15. 18 – 20
Luk. 15 : 1 – 3. 11 – 32


Bacaan pertama yang kita dengar hari ini merupakan bagian terakhir dari seluruh tulisan nabi Mikha. Pada bagian akhir ini, Mikha memadahkan doa kepada Yahweh agar Yahweh kembali memperhatikan Israel, seperti para gembala memperhatikan domba-dombanya. Mikha, yang hidup sezaman dengan nabi Yesaya, menyadari keberdosaan Israel. Keberdosaan ini, membuat orang-orang Israel jauh dari rahmat Allah, yang dilukiskan Mikha sebagai ‘mereka terpencil, mendiami rimba di tengah kebun buah-buahan’. Situasi tanpa berkat ini, membuat Mikha datang kepada Yahweh dan memohonkan pengampunan. Mikha percaya, Yahweh, yang dahulu membebaskan leluhur Israel dari penindasan Mesir, senantiasa melimpah dalam pengampunan. ‘Biarlah IA kembali menyanyangi kita, menghapuskan kesalahan-kesalahan kita dan melemparkan segala dosa kita ke dalam tubir-tubir laut’.

Nabi Mikha hari ini menunjukkan kepada kita pentingnya kesadaran akan keberdosaan sebagai jalan kepada pengampunan. Kesadaran akan keberdosaan semestinya mengantar seorang beriman kepada jalan-jalan pertobatan, jalan-jalan pembaruan diri; dan bukan kepada pembelaan diri dengan berbagai argumentasi yang kita kemukakan. Di hadapan manusia, mungkin kita dapat berkelit, tetapi di hadapan Allah dan hati nurani, tidak seorang pun dapat membohongi dirinya sendiri. Maka satu-satunya jalan adalah pertobatan. Menjadi murid Yesus yang militan, selain ditandai dengan ketangguhan dan semangat pantang mundur, juga ditandai dengan usaha terus menerus untuk memperbarui dan memperbaiki diri. Dalam kata militan, kita menemukan kata Latin militia yang berarti perjuangan. Hal ini berarti menjadi murid yang militan berarti murid yang mau berjuang sungguh-sungguh melawan kecenderungan berbuat dosa di dalam dirinya.

Kisah tentang kembalinya anak yang hilang dalam bacaan injil hari ini sebenarnya berbicara tentang Allah dan respons manusia. Figur bapa yang murah hati memberikan gambaran tentang kasih dan kesetiaan Allah yang senantiasa membuka pintu pengampunan. Ia tak pernah lelah menunggu kepulangan dan pertobatan kita. Anak bungsu, mengajak kita untuk menyadari keberdosaan kita dan kembali kepada Allah. Anak bungsu mau mengatakan kepada kita selalu ada kesempatan kedua untuk setiap hal baik, selalu ada masa depan untuk para pendosa yang mau bertobat. Anak sulung yang merasa dirinya lebih baik dari anak bungsu, barangkali adalah gambaran diri kita sendiri: ketika kita merasa lebih baik dari orang lain, ketika kita merasa mempunyai hak untuk mnghakimi sesama, ketika kita merasa suci sendiri. Pilhan ada pada kita, kita mau jadi seperti yang mana: Bapa, anak bungsu atau anak sulung?

Tuhan memberkati ktia (p.kristo,svd)