Menyadari Keberdosaan
Sabtu, 23 Maret 2019
Mi. 7 : 14 – 15. 18 – 20
Luk. 15 : 1 – 3. 11 – 32
Bacaan pertama yang kita
dengar hari ini merupakan bagian terakhir dari seluruh tulisan nabi Mikha. Pada
bagian akhir ini, Mikha memadahkan doa kepada Yahweh agar Yahweh kembali
memperhatikan Israel, seperti para gembala memperhatikan domba-dombanya. Mikha,
yang hidup sezaman dengan nabi Yesaya, menyadari keberdosaan Israel.
Keberdosaan ini, membuat orang-orang Israel jauh dari rahmat Allah, yang
dilukiskan Mikha sebagai ‘mereka terpencil, mendiami rimba di tengah kebun
buah-buahan’. Situasi tanpa berkat ini, membuat Mikha datang kepada Yahweh dan
memohonkan pengampunan. Mikha percaya, Yahweh, yang dahulu membebaskan leluhur
Israel dari penindasan Mesir, senantiasa melimpah dalam pengampunan. ‘Biarlah IA
kembali menyanyangi kita, menghapuskan kesalahan-kesalahan kita dan melemparkan
segala dosa kita ke dalam tubir-tubir laut’.
Nabi Mikha hari ini
menunjukkan kepada kita pentingnya kesadaran akan keberdosaan sebagai jalan
kepada pengampunan. Kesadaran akan keberdosaan semestinya mengantar seorang
beriman kepada jalan-jalan pertobatan, jalan-jalan pembaruan diri; dan bukan
kepada pembelaan diri dengan berbagai argumentasi yang kita kemukakan. Di
hadapan manusia, mungkin kita dapat berkelit, tetapi di hadapan Allah dan hati
nurani, tidak seorang pun dapat membohongi dirinya sendiri. Maka satu-satunya
jalan adalah pertobatan. Menjadi murid Yesus yang militan, selain ditandai
dengan ketangguhan dan semangat pantang mundur, juga ditandai dengan usaha
terus menerus untuk memperbarui dan memperbaiki diri. Dalam kata militan, kita menemukan kata Latin militia yang berarti perjuangan. Hal ini
berarti menjadi murid yang militan berarti murid yang mau berjuang
sungguh-sungguh melawan kecenderungan berbuat dosa di dalam dirinya.
Kisah tentang kembalinya
anak yang hilang dalam bacaan injil hari ini sebenarnya berbicara tentang Allah
dan respons manusia. Figur bapa yang murah hati memberikan gambaran tentang
kasih dan kesetiaan Allah yang senantiasa membuka pintu pengampunan. Ia tak
pernah lelah menunggu kepulangan dan pertobatan kita. Anak bungsu, mengajak
kita untuk menyadari keberdosaan kita dan kembali kepada Allah. Anak bungsu mau
mengatakan kepada kita selalu ada kesempatan kedua untuk setiap hal baik,
selalu ada masa depan untuk para pendosa yang mau bertobat. Anak sulung yang
merasa dirinya lebih baik dari anak bungsu, barangkali adalah gambaran diri
kita sendiri: ketika kita merasa lebih baik dari orang lain, ketika kita merasa
mempunyai hak untuk mnghakimi sesama, ketika kita merasa suci sendiri. Pilhan
ada pada kita, kita mau jadi seperti yang mana: Bapa, anak bungsu atau anak
sulung?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar