Jumat, 22 Maret 2019

Menyadari Keberdosaan (Sabtu, 23 Maret 2019)


Menyadari Keberdosaan
Sabtu, 23 Maret 2019


Mi. 7 : 14 – 15. 18 – 20
Luk. 15 : 1 – 3. 11 – 32


Bacaan pertama yang kita dengar hari ini merupakan bagian terakhir dari seluruh tulisan nabi Mikha. Pada bagian akhir ini, Mikha memadahkan doa kepada Yahweh agar Yahweh kembali memperhatikan Israel, seperti para gembala memperhatikan domba-dombanya. Mikha, yang hidup sezaman dengan nabi Yesaya, menyadari keberdosaan Israel. Keberdosaan ini, membuat orang-orang Israel jauh dari rahmat Allah, yang dilukiskan Mikha sebagai ‘mereka terpencil, mendiami rimba di tengah kebun buah-buahan’. Situasi tanpa berkat ini, membuat Mikha datang kepada Yahweh dan memohonkan pengampunan. Mikha percaya, Yahweh, yang dahulu membebaskan leluhur Israel dari penindasan Mesir, senantiasa melimpah dalam pengampunan. ‘Biarlah IA kembali menyanyangi kita, menghapuskan kesalahan-kesalahan kita dan melemparkan segala dosa kita ke dalam tubir-tubir laut’.

Nabi Mikha hari ini menunjukkan kepada kita pentingnya kesadaran akan keberdosaan sebagai jalan kepada pengampunan. Kesadaran akan keberdosaan semestinya mengantar seorang beriman kepada jalan-jalan pertobatan, jalan-jalan pembaruan diri; dan bukan kepada pembelaan diri dengan berbagai argumentasi yang kita kemukakan. Di hadapan manusia, mungkin kita dapat berkelit, tetapi di hadapan Allah dan hati nurani, tidak seorang pun dapat membohongi dirinya sendiri. Maka satu-satunya jalan adalah pertobatan. Menjadi murid Yesus yang militan, selain ditandai dengan ketangguhan dan semangat pantang mundur, juga ditandai dengan usaha terus menerus untuk memperbarui dan memperbaiki diri. Dalam kata militan, kita menemukan kata Latin militia yang berarti perjuangan. Hal ini berarti menjadi murid yang militan berarti murid yang mau berjuang sungguh-sungguh melawan kecenderungan berbuat dosa di dalam dirinya.

Kisah tentang kembalinya anak yang hilang dalam bacaan injil hari ini sebenarnya berbicara tentang Allah dan respons manusia. Figur bapa yang murah hati memberikan gambaran tentang kasih dan kesetiaan Allah yang senantiasa membuka pintu pengampunan. Ia tak pernah lelah menunggu kepulangan dan pertobatan kita. Anak bungsu, mengajak kita untuk menyadari keberdosaan kita dan kembali kepada Allah. Anak bungsu mau mengatakan kepada kita selalu ada kesempatan kedua untuk setiap hal baik, selalu ada masa depan untuk para pendosa yang mau bertobat. Anak sulung yang merasa dirinya lebih baik dari anak bungsu, barangkali adalah gambaran diri kita sendiri: ketika kita merasa lebih baik dari orang lain, ketika kita merasa mempunyai hak untuk mnghakimi sesama, ketika kita merasa suci sendiri. Pilhan ada pada kita, kita mau jadi seperti yang mana: Bapa, anak bungsu atau anak sulung?

Tuhan memberkati ktia (p.kristo,svd)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar