Rabu, 27 Februari 2019

Damai dan Pertobatan (Kamis, 28 Februari 2019)


Damai dan Pertobatan
Kamis, 28 Februari 2019


Sir. 5 : 1 – 8
Mrk. 9 : 41 – 50


Putra Sirakh dalam bacaan pertama hari ini mengajak kita untuk senantiasa berbenah diri melalui jalan pertobatan. Putra Sirakh menulis, ‘Jangan menunda-nunda untuk bertobat kepada Tuhan, jangan kau tangguhkan dari hari ke hari.’ Pertobatan Kristiani selalu melalui tiga jalan utama: menyadari dan menyesali keberdosaan, mengungkapkan pertobatan, dan membangun komitmen. Pertobatan mengandaikan kesadaran akan keberdosaan kita, kesadaran akan keberdosaan ini mesti diikuti dengan ungkapan pertobatan, dan ungkapan pertobatan ini mesti diikuti dengan janji dan komitmen untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Pertobatan, kata Putra Sirakh, tidak pernah boleh ditunda dan tidak pernah mencari waktu yang tepat. Setiap waktu adalah waktu yang tepat untuk bertobat. Pertobatan selalu mesti terjadi dalam situasi ‘di sini dan kini’. Sebab, kalau kita menunggu besok untuk bertobat, misalnya, siapa yang bisa menjamin bahwa besok kita masih ada? Atau, kalau kita menunggu alasan yang tepat untuk bertobat, siapa yang bisa memastikan bahwa kelak kita akan menemukan alasan yang tepat itu? Jalan menuju kepada pertobatan hanya menuntut satu syarat, yakni kesadaran bahwa kita berdosa.

Persis, hal ini yang hilang dari banyak manusia modern sekarang. Salah satu alasan mencolok minimnya jumlah orang yang melakukan pengakuan dosa pribadi, misalnya pada saat menjelang natal atau paskah, adalah karena rendahnya kesadaran akan keberdosaan. Orang tidak menyadari dan tidak merasa bahwa dia berdosa, dan karena itu, dia tidak membutuhkan sakramen pengakuan dosa. Hal ini salah satunya disebabkan oleh kemajuan cara berpikir. Orang semakin menjadi rasional dan dalam arti tertentu mudah kehilangan rasa berdosa, sebab orang dapat membuat rasionalisasi perbuatannya, orang mudah mencari pembenaran atas perbuatannya.

Sementara dalam bacaan Injil hari ini, Penginjil Markus mengajak kita untuk senantiasa berusaha hidup rukun dengan sesama. Markus menulis, ‘hendaklah kalian selalu mempunyai garam dalam dirimu dan selalu hidup berdamai seorang dengan yang lain.’ Ajakan Yesus untuk senantiasa hidup dalam damai adalah panggilan seumur hidup seorang Kristen. Sebuah pepatah Latin mengatakan, ‘Opus Caritatis Pax: perdamaian adalah buah dari cinta kasih’. Kedamaian dalam hidup bersama senantiasa mengandaikan kesanggupan kita untuk saling mencintai. Tidak ada perdamaian tanpa cinta kasih. Marilah kita berusaha untuk senantiasa hidup dalam damai, marilah ktia berusaha untuk saling mengasihi.

Tuhan memberkati kita (p.kristo,svd)

Senin, 25 Februari 2019

Iman Mewujud dalam Pelayanan (Selasa, 26 Februari 2019)


Iman Mewujud dalam Pelayanan
Selasa, 26 Februari 2019


Sir. 2 : 1 – 11
Mrk. 9 : 30 – 37


Santo Arnoldus Janssen pernah mengatakan ‘Tuhan mencintai orang-orang, yang tetap berterima kasih meskipun dalam penderitaan.’ Kata-kata Santo Arnoldus Janssen ini sejalan dengan wejangan-wejangan suci Putra Sirakh dalam bacaan pertama hari ini. Putra Sirakh mengajak kita untuk senantiasa berpaut kepada Tuhan. ‘Jangan berpaling dari-Nya, supaya engkau dijunjung tinggi pada akhir hidupmu’. Putra Sirakh melanjutkan, ‘Percayalah kepadaNya, niscaya kalian tidak akan kehilangan ganjaran. Sungguh, Tuhan itu pengasih dan penyayang.’ Tuhan, dalam pengalaman orang-orang Israel adalah Bapa penuh kasih, yang setia berjalan bersama manusia, yang selalu hadir dalam setiap situasi sulit umat Israel.

Nasihat suci Putra Sirakh hari ini adalah sebuah awasan bagi kita untuk tidak mudah berpindah ke lain hati, untuk setia memantapkan hati kita pada Yesus. Kadang-kadang, satu kegagalan kecil dalam hidup kita, satu peristiwa kehilangan yang menyayat hati, membuat kita mempertanyakan kasih dan kemurahan Tuhan. Kadang-kadang kita merasa Tuhan begitu jauh dari kita ketika segala usaha kita tampak sia-sia. Pertanyaan-pertanyaan kita tentang kasih Tuhan, semestinya membawa kita semakin dekat dengan Tuhan, dan bukan malah membuat kita menjauh dariNya. Seperti halnya untuk dapat semakin mengenal dan mencintai seseorang, kita membutuhkan kedekatan dengan orang tersebut; demikianpun halnya, untuk sungguh-sungguh mengenal dan mencintai Tuhan, kita butuh untuk senantiasa berada dekat dengan Tuhan.

Dalam bacaan Injil, kita mendengar sabda Yesus, bahwa jalan utama yang harus dilalui oleh seorang Katolik adalah jalan-jalan pelayanan. ‘Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya, dan menjadi pelayaan semuanya’. Yesus sendiri telah lebih dahulu menunjukkan kita contoh tentang ini: Ia rela meninggalkan segala kemahaanNya di surga, lahir di kandang nan hina, melayani Allah dan manusia di setiap detik waktu hidupNya, hingga rela mati di salib. IA mencintai kita sehabis-habisnya. Kisah hidup Yesus adalah kisah tentang pelayanan penuh cinta yang senantiasa menuntut pemberian diri.

Kita selalu menyebut Yesus sebagai Guru dan Tuhan. Kalau Yesus adalah guru dan kita semua adalah murid maka kita berkewajiban untuk mengikuti teladan hidup Sang Guru Agung itu. Tentu saja, selalu tidak mudah untuk melayani di tengah dunia yang diwarnai dengan mengglobalnya ketidakpedulian ini, di tengah dunia yang diwarnai individualisme ini, di tengah gempuran peradaban yang cenderung membawa manusia semakin tidak peduli dengan sesamanya. Marilah kita bersama-sama berjuang untuk saling melayani satu sama lain. Hal ini kita mulai dari rumah tangga kita masing-masing. 

Tuhan memberkati kita (p.kristo,svd)

Jumat, 22 Februari 2019

Iman dan Perjuangan Hidup (Sabtu, 23 Februari 2019)


Iman dan Perjuangan Hidup
Sabtu, 23 Februari 2019
PW St. Polykarpus, Uskup dan Martir


Ibr. 11 : 1 – 7
Mrk. 9: 2 – 13


Surat kepada orang Ibrani dalam bacaan pertama hari ini berbicara tentang iman. Iman, seperti tertulis dalam surat ini adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat. Konteks pewartaan ini ditujukan kepada orang Ibrani yang mulai ragu, putus asa, dan tawar hati akibat penganiayaan yang mereka alami. Melalui surat ini, penulis ingin meneguhkan orang Ibrani bahwa iman mereka menjadi jaminan akan adanya masa depan yang lebih baik. Iman adalah dasar bagi kita untuk mempercayai realitas-realitas rohani. Iman inilah yang menuntun kita kepada kebenaran seperti pengalaman Habel, yang mendorong kita untuk senantiasa mencari dan mempercayai kebaikan Allah seperti teladan Henokh, dan mengantar kita kepada keselamatan seperti pengalaman Nuh.

Dengan mengangkat tokoh-tokoh penting dalam Perjanjian Lama, penulis surat ini ingin mengatakan bahwa beriman kepada Allah tidak serta merta menjauhkan kita dari aneka pencobaan dan tantangan hidup. Allah tidak pernah menjanjikan kita hari-hari hidup tanpa aneka soal, masa depan yang baik tanpa keringat perjuangan, ataupun tawa sukacita tanpa air mata. Allah menjanjikan kita pertolongan dan kekuatan untuk melewati setiap situasi sulit dalam hidup, seperti dialami tokoh-tokoh Kitab Suci ini. Pengalaman tokoh-tokoh Kitab Suci meyakinkan kita bahwa iman adalah dasar yang memberi kita kekuatan untuk tetap bertahan di tengah situasi sulit, dan bahwa Tuhan tidak pernah menutup mata terhadap kesulitan dan persoaan kita. Cinta Allah kepada kita adalah cinta yang menantang: ia menantang kita untuk berani berjuang, bukan berpuas diri apalagi berputus asa. Ia menantang kita untuk tidak mudah menyerah.

Penginjil Markus hari ini mengisahkan kepada kita perubahan rupa Yesus di atas sebuah gunung yang tinggi, dan disaksikan oleh ketiga muridNya: Petrus, Yakobus dan Yohanes. Ketiga murid ini menjadi saksi dari pembicaraan Yesus dengan Musa dan Elia. Pengalaman ini, rupanya sungguh membahagiakan dan membekas di hati Petrus, karena itu ia menawarkan diri untuk membangun tiga kemah, bagi Yesus, Musa dan Elia. Namun, Yesus tidak mengindahkan tawaran Petrus itu. Dengan ini, Yesus sebenarnya ingin mengingatkan para muridNya, bahwa menjadi murid bukan tentang tinggal dalam kemilau gunung Tabor itu, tetapi terutama tentang keberanian untuk turun gunung dan melihat pengalaman riil hidup harian. Sukacita dalam kebersamaan dengan Yesus mesti menjadi daya dorong untuk bergelut dengan pengalaman hidup harian, dan bukan sebaliknya, membuat orang enggan untuk berjuang. Beriman bukan tentang kesetiaan menanti mukjizat, tetapi tentang kesungguhan memperjuangkan hal-hal yang selalu kita doakan.

Tuhan memberkati kita (p.kristo,svd)