Jangan Lupa Bersyukur
Rabu, 20 Februari 2019
Kej. 8 : 6 – 13. 20 – 22
Mrk. 8 : 22 – 26
Kisah
Nabi Nuh, sebagaimana digambarkan oleh penulis Kitab Kejadian, adalah gambaran
kasih Allah yang tak berkesudahan kepada manusia dan jawaban ideal manusia atas
kasih Allah itu. Allah menyelamatkan hambaNya, Nuh, dari air bah dan
menjanjikan kehidupan baru untuknya dan untuk kita sekalian, ‘Aku takkan
mengutuk bumi ini lagi karena manusia, Aku takkan membinasakan lagi segala yang
hidup.’ Terhadap kasih dan kesetiaan Yahweh ini, Nuh mendirikan mezbah untuk
Tuhan dan mempersembahkan kurban bakaran. Nuh tahu, di hadapan kemahakuasaan
Allah, di hadapan kasih Allah, jawaban yang paling pantas dari manusia adalah
bersujud dan bersyukur.
Seperti
pengalaman Nuh, kesanggupan kita untuk tetap bertahan hidup hingga saat ini
adalah semata-mata karena kasih dan kemurahan Tuhan. Udara yang kita hirup,
makanan yang masih bisa kita makan setiap hari, orang-orang terkasih yang boleh
kita jumpai, adalah bukti dari kasih Tuhan itu. Hanya acapkali kita kurang
menyadari hal itu dan karena itu lupa mensyukurinya. Apa yang diperbuat Nuh
hari ini adalah sebuah ajakan bagi kita untuk senantiasa bersyukur kepada
Tuhan, bersyukur untuk setiap orang yang hadir dalam hidup kita.
Kepada
Nuh, Yahweh berjanji, ‘Aku takkan mengutuk bumi ini lagi’. Dalam bahasa Ibrani,
rumusan aslinya berbunyi, ‘Aku takkan menambah kutuk lagi pada bumi’. Yahweh
sudah mengutuk bumi pada saat dosa masuk pertama kali seperti tampak dalam
kisah Adam dan Hawa; dan ketika Ia menenggelamkan bumi melalui air bah, Ia
menambah kutukanNya itu. Janji penyelamatan Yahweh ini, pembebasan dari kutukan
dan dosa, mendapatkan kepenuhannya kelak dalam diri Yesus Kristus. Allah
menganugerahkan PutraNya yang tunggal sebagai penebus karena Ia tidak
menginginkan salah seorangpun dari antara kita binasa. Allah menjanjikan kita
langit dan bumi yang baru.
Dalam
bacaan Injil, kita mendengar cerita penyembuhan seorang buta di Betsaida. Orang
buta ini dibawah oleh orang-orang sekampungnya kepada Yesus. Mereka memohon
agar Yesus menjamah si buta dan menyembuhkannya. Apa yang dilakukan oleh
orang-orang sekampung Si Buta ini sebenarnya menggambarkan iman yang berdimensi
sosial. Iman mereka kepada Yesus mendorong mereka untuk membawa si buta kepada
Yesus. Seperti orang-orang sekampung Si Buta ini, iman kita kepada Yesus
semestinya tidak hanya menjadi jaminan keselamatan bagi kita sendiri, tetapi
mesti mendorong kita untuk membawa lebih banyak orang kepada Yesus agar
merekapun diselamatkan. Setiap kita mempunyai tanggung jawab untuk membawa
orang-orang sakit kepada Yesus dan terlibat dalam mengupayakan kesembuhan
mereka.
Terima kasih atas renungannya.sangat menginspirasi
BalasHapusTerima kasih atas renungannya.sangat menginspirasi
BalasHapus