Selasa, 19 Februari 2019

Jangan Lupa Bersyukur (Rabu, 20 Februari 2019)


Jangan Lupa Bersyukur
Rabu, 20 Februari 2019


Kej. 8 : 6 – 13. 20 – 22
Mrk. 8 : 22 – 26


Kisah Nabi Nuh, sebagaimana digambarkan oleh penulis Kitab Kejadian, adalah gambaran kasih Allah yang tak berkesudahan kepada manusia dan jawaban ideal manusia atas kasih Allah itu. Allah menyelamatkan hambaNya, Nuh, dari air bah dan menjanjikan kehidupan baru untuknya dan untuk kita sekalian, ‘Aku takkan mengutuk bumi ini lagi karena manusia, Aku takkan membinasakan lagi segala yang hidup.’ Terhadap kasih dan kesetiaan Yahweh ini, Nuh mendirikan mezbah untuk Tuhan dan mempersembahkan kurban bakaran. Nuh tahu, di hadapan kemahakuasaan Allah, di hadapan kasih Allah, jawaban yang paling pantas dari manusia adalah bersujud dan bersyukur. 

Seperti pengalaman Nuh, kesanggupan kita untuk tetap bertahan hidup hingga saat ini adalah semata-mata karena kasih dan kemurahan Tuhan. Udara yang kita hirup, makanan yang masih bisa kita makan setiap hari, orang-orang terkasih yang boleh kita jumpai, adalah bukti dari kasih Tuhan itu. Hanya acapkali kita kurang menyadari hal itu dan karena itu lupa mensyukurinya. Apa yang diperbuat Nuh hari ini adalah sebuah ajakan bagi kita untuk senantiasa bersyukur kepada Tuhan, bersyukur untuk setiap orang yang hadir dalam hidup kita. 

Kepada Nuh, Yahweh berjanji, ‘Aku takkan mengutuk bumi ini lagi’. Dalam bahasa Ibrani, rumusan aslinya berbunyi, ‘Aku takkan menambah kutuk lagi pada bumi’. Yahweh sudah mengutuk bumi pada saat dosa masuk pertama kali seperti tampak dalam kisah Adam dan Hawa; dan ketika Ia menenggelamkan bumi melalui air bah, Ia menambah kutukanNya itu. Janji penyelamatan Yahweh ini, pembebasan dari kutukan dan dosa, mendapatkan kepenuhannya kelak dalam diri Yesus Kristus. Allah menganugerahkan PutraNya yang tunggal sebagai penebus karena Ia tidak menginginkan salah seorangpun dari antara kita binasa. Allah menjanjikan kita langit dan bumi yang baru.

Dalam bacaan Injil, kita mendengar cerita penyembuhan seorang buta di Betsaida. Orang buta ini dibawah oleh orang-orang sekampungnya kepada Yesus. Mereka memohon agar Yesus menjamah si buta dan menyembuhkannya. Apa yang dilakukan oleh orang-orang sekampung Si Buta ini sebenarnya menggambarkan iman yang berdimensi sosial. Iman mereka kepada Yesus mendorong mereka untuk membawa si buta kepada Yesus. Seperti orang-orang sekampung Si Buta ini, iman kita kepada Yesus semestinya tidak hanya menjadi jaminan keselamatan bagi kita sendiri, tetapi mesti mendorong kita untuk membawa lebih banyak orang kepada Yesus agar merekapun diselamatkan. Setiap kita mempunyai tanggung jawab untuk membawa orang-orang sakit kepada Yesus dan terlibat dalam mengupayakan kesembuhan mereka.

Tuhan memberkati kita. (p.kristo,svd)

2 komentar:

  1. Terima kasih atas renungannya.sangat menginspirasi

    BalasHapus
  2. Terima kasih atas renungannya.sangat menginspirasi

    BalasHapus