Damai dan Kekudusan
Rabu, 6 Februari 2019
PW St. Paulus Miki, dkk
Ibr. 12 : 4 – 7. 11 – 15
Mrk. 6 : 1 – 6
Surat
kepada orang Ibrani hari ini mengajak kita untuk senantiasa hidup dalam damai
dengan semua orang. Damai mesti menjadi ciri pokok dari keberadaan kita sebagai
murid Yesus. Di tengah situasi dunia dewasa ini, yang ditandai dengan perpecahan
dan permusuhan, kita diajak bukan hanya untuk sekadar hidup dalam damai, tetapi
terutama memperjuangkan damai itu. Kita dipanggil menjadi bentara kasih Allah untuk
menghadirkan damai dalam hidup bersama. Damai, pertama-tama mesti dimulai dari
dalam diri kita sendiri, damai di dalam rumah tangga, damai dalam lingkungan
kita.
Selain
hidup dalam damai, penulis surat ini juga mengajak kita untuk memperjuangkan
kekudusan kita. Kekudusan tidak pernah dicapai dengan melarikan diri dari dunia
dan menyepi ke padang gurun. Kekudusan mesti dicapai dalam pergaulan dan
perjumpaan kita dengan sesama. Sebab Tuhan, menjadi begitu dekat dengan kita,
justru ketika kita mampu hidup berdampingan dalam damai dengan sesama.
Kedekatan kita dengan Tuhan dalam doa mesti seimbang dengan kedekatan kita
dengan sesama yang kita jumpai setiap hari. Doa mesti menjadi sumber daya yang
memberi kita kekuatan untuk hidup baik dan berdamai dengan sesama; dan bukan
menjadikan doa sebagai alasan melarikan diri dari perjumpaan dengan sesama dan
membawa kita pada perasaan lebih suci dari orang lain.
Dalam
bacaan Injil, penginjil Markus menampilkan keragu-raguan orang-orang sekampung
Yesus akan kuasa Yesus dalam menciptakan mukjizat. Pertanyaan orang-orang
sekampung Yesus hari ini, ‘Dari mana diperolehNya semuanya itu? Bukankah IA ini
tukang kayu anak Maria? Bukankah IA saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon?’
menunjukkan pemahaman mereka yang sangat dangkal tentang Yesus. Mereka mengenal
Yesus hanya sebagai manusia biasa dengan mempertautkan tali relasinya dengan
saudara dan saudarinya di kampung itu. Mereka tidak mengenal Yesus secara lebih
mendalam sebagai anak Allah yang diutus Bapa demi keselamatan manusia.
Pengenalan
yang dangkal dari orang-orang sekampung Yesus ini menunjukkan bahwa berada di
dekat Yesus tidak pernah menjadi jaminan bahwa orang itu dapat mengenal Yesus
dengan baik. Butuh usaha dalam terang iman untuk mencari tahu tentang identitas
Yesus. Hal yang sama berlaku bagi kita sebagai pengikut Yesus. Semoga keberadaan
kita sebagai orang Katolik mendorong kita untuk senantiasa belajar dan mencari
tahu agar dapat mengenal Yesus dengan baik. Kecintaan kita pada Yesus, kiranya
tidak hanya berhenti pada kesetiaan berdoa, tetapi juga disertai usaha agar
dapat mengenal Yesus dengan lebih baik. Iman kita tidak hanya berhenti pada
praktik laku religius, tetapi juga pada kesanggupan kita untuk mempertanggungjawabkan
apa yang kita imani itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar