Iman dan Sudut Pandang
Jumat, 18 Januari 2019
Ibr. 4 : 1 – 5. 11
Mrk. 2 : 1 – 12
Iman
memiliki jalannya sendiri. Hal ini kita temukan dalam diri sekelompok orang
yang membawa seorang lumpuh kepada Yesus dalam bacaan Injil hari ini. Kerumunan
orang yang mengitari Yesus membuat mereka tidak memiliki jalan untuk bertemu
dengan Yesus. Pilihan satu-satunya adalah membuka atap rumah dan menurunkan
tilam, tempat si lumpuh berbaring, persis di depan Yesus. Iman mereka membuat
mereka selalu menemukan jalan untuk bisa menjumpai Yesus. Ketika iman bekerja,
maka segala jalan terbuka.
Namun
iman tanpa usaha tidak cukup. Beriman mesti selalu berarti: engkau mendoakan
apa yang engkau perjuangkan dan memperjuangkan apa yang engkau doakan.
Sekolompok orang ini menerjemahkan iman mereka dalam usaha untuk membawa si
lumpuh kepada Yesus. Iman mesti menjadi energi dan daya dorong yang
menggerakkan setiap orang untuk berani menatap masa depan, berani
memperjuangkan mimpi-mimpinya. Iman kita kepada Yesus dengan segala kasih dan
kemurahan hati yang melekat padaNya, tidak pernah boleh meninabobokan kita,
melainkan mesti mendorong kita untuk senantiasa berjuang menjadikan hidup kita
lebih baik.
Hal
yang menarik dari peristiwa ini adalah dua respons berbeda yang diperlihatkan
oleh orang Farisi dan orang-orang bukan Farisi. Pertama, orang Farisi. Orang Farisi tidak melihat mukjziat itu
sebagai tanda kemurahan hati Allah, mereka malah mempersoalkan kata-kata Yesus
ketika menyembuhkan si lumpuh. “Hai, anakKu, dosamu sudah diampuni.” Bagi
mereka ini merupakan sebentuk penghujatan terhadap Allah karena hanya Allah
yang mengampuni dosa. Kita tahu, salah satu kesalahan yang dituduhkan kepada
Yesus dalam pengadilan di hadapan Pilatus adalah dosa penghujatan Allah ini.
Sikap
orang farisi sebenarnya juga merepresentasikan sikap manusiawi kita. Ketika
kita membenci orang tertentu, kita akan kesuliatan menemukan hal baik di dalam
dirinya. Bahkan ketika dia buat baikpun, kita selalu mencari celah untuk
menyalahkan dan menyingkirkannya. Kebencian kita membuat kita selalu memandang
dia yang dibenci itu hanya dari sisi negatifnya semata. Kebencian membuat kita
tidak bisa berpikir dengan lebih jernih dan memposisikan dia yang dibenci itu
sebagai dia yang harus disingkirkan. Karena itu, sebelum rasa benci itu
menggerogori diri kita dan membuat hidup kita tidak bahagia, mari kita berusaha
untuk berpikir positif tentang sesama.
Kedua, orang-orang bukan Farisi.
Orang-orang bukan Farisi yang menyaksikan mukjizat itu memuliakan Allah. Mereka
semua takjub karena hal itu belum pernah mereka lihat sebelumnya. Reaksi mereka
menunjukkan keyakinan mereka bahwa apa yang dibuat Yesus adalah tanda
belaskasih Allah kepada manusia. Dari orang-orang bukan Farisi ini kita belajar
untuk peka, untuk beriman dengan mata terbuka kepada Allah. Sekarang pilihan
ada pada kita masing-masing: mau ikut seperti orang Farisi atau menjadi bagian
dari orang-orang bukan Farisi itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar