Jumat, 18 Januari 2019

Lewi dan Jalan Pertobatan (Sabtu, 19 Januari 2019)


Lewi dan Jalan Pertobatan
Sabtu, 19 Januari 2019


Ibr. 4 : 12 – 16
Mrk. 2 : 13 – 17


Injil hari ini mengisahkan panggilan kemuridan Lewi, seorang pemungut cukai. Panggilan kemuridan Lewi bermula dari inisiatif Yesus. Yesus melihat Lewi duduk di rumah cukai dan kemudian memanggilnya, “Ikutlah Aku.” Yesus bahkan makan di rumah Lewi bersama pemungut cukai lain dan orang-orang berdosa. Tentu saja, Yesus mencela setiap dosa, tetapi ia mengasihi para pendosa yang mau bertobat. Bagi Yesus, selalu ada pengampunan bagi setiap pendosa yang bertobat. Di atas salib pun, pada detik-detik terakhir hidupNya, Yesus masih memberikan pengampunan dan menjanjikan surga bagi pendosa yang bertobat yang disalibkan bersamaNya.

Seperti halnya Ia memanggil Lewi, Yesus juga memanggil kita untuk bertobat: untuk berani beralih dari cara hidup lama yang kurang baik, menuju cara hidup baru yang lebih baik. Pertobatan yang sejati senantiasa menuntut janji dan komitmen: kita berjanji untuk tidak melakukan kesalahan yang sama dan berkomitmen atas janji itu. Respons Lewi, kiranya menjadi jawaban kita: seperti Lewi yang berani meninggakan pekerjaannya yang menjanjikan kemapanan finansial sebagai pemungut cukai demi mengikuti Yesus, pertobatan kita juga menuntut kerelaan untuk memperbarui diri terus menerus agar menjadi lebih dekat dengan Yesus. Kalau selama ini, misalnya, kita kurang berdoa, marilah kita perlahan-lahan menjadikan doa sebagai kebiasaan kita; kalau selama ini kita masih suka menyimpan dendam, marilah kita berusaha perlahan-lahan untuk membuka hati dan memberikan maaf.

Perbuatan baik Yesus ini mendapat tanggapan yang berbeda dari Kaum Farisi. Kaum Farisi yang merasa diri sebagai orang suci mempertanyakan keputusan Yesus makan bersama pemungut cukai dan orang berdosa. Bagi mereka, hal itu tidak semestinya dan tidak patut dilakukan Yesus. Pemungut cukai memang bukan hanya dipandang sebagai pendosa kelas kakap, tetapi juga sebagai musuh bersama. Ia dipandang berdosa secara moral karena seringkali menagih melebihi apa yang ditentukan; ia juga berdosa secara sosial-politis karena ia mengabdi kepentingan para penjajah yakni bangsa Romawi. Ketika orang Farisi berkeyakinan bahwa orang berdosa semestinya dijauhkan karena menjadi sumber penyakit sosial dalam hidup bersama, Yesus justru menarik mereka dan mengarahkan mereka untuk bertobat. Sebab visi Yesus jelas, ‘datang bukan untuk memanggil orang benar melainkan orang berdosa.’

Kadang-kadang, tingkah laku hidup harian kita juga memiliki kemiripan dengan orang Farisi. Sering kali kita merasa diri sebagai orang suci, merasa diri lebih baik dari yang lain, dan karena itu, merasa mempunyai alasan untuk memvonis yang lain sebagai pendosa. Kita acapkali menggunakan tolok ukur diri kita sendiri untuk menilai dan menghakimi orang lain. Kalau kita merasa diri baik dan memiliki keutamaan-keutamaan ternteu, baiklah kita memanfaatkan hal baik itu untuk saling membantu dan saling mendukung ke arah hidup bersama yang lebih baik. Belajar dari Yesus hari ini, mari kita berusaha untuk saling membantu dan bukan saling menghakimi. Sebab siapakah di antara kita yang tidak berdosa?

Tuhan memberkati kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar