Lewi dan Jalan Pertobatan
Sabtu, 19 Januari 2019
Ibr. 4 : 12 – 16
Mrk. 2 : 13 – 17
Injil
hari ini mengisahkan panggilan kemuridan Lewi, seorang pemungut cukai.
Panggilan kemuridan Lewi bermula dari inisiatif Yesus. Yesus melihat Lewi duduk
di rumah cukai dan kemudian memanggilnya, “Ikutlah Aku.” Yesus bahkan makan di
rumah Lewi bersama pemungut cukai lain dan orang-orang berdosa. Tentu saja,
Yesus mencela setiap dosa, tetapi ia mengasihi para pendosa yang mau bertobat.
Bagi Yesus, selalu ada pengampunan bagi setiap pendosa yang bertobat. Di atas
salib pun, pada detik-detik terakhir hidupNya, Yesus masih memberikan
pengampunan dan menjanjikan surga bagi pendosa yang bertobat yang disalibkan
bersamaNya.
Seperti
halnya Ia memanggil Lewi, Yesus juga memanggil kita untuk bertobat: untuk
berani beralih dari cara hidup lama yang kurang baik, menuju cara hidup baru
yang lebih baik. Pertobatan yang sejati senantiasa menuntut janji dan komitmen:
kita berjanji untuk tidak melakukan kesalahan yang sama dan berkomitmen atas
janji itu. Respons Lewi, kiranya menjadi jawaban kita: seperti Lewi yang berani
meninggakan pekerjaannya yang menjanjikan kemapanan finansial sebagai pemungut
cukai demi mengikuti Yesus, pertobatan kita juga menuntut kerelaan untuk
memperbarui diri terus menerus agar menjadi lebih dekat dengan Yesus. Kalau
selama ini, misalnya, kita kurang berdoa, marilah kita perlahan-lahan
menjadikan doa sebagai kebiasaan kita; kalau selama ini kita masih suka
menyimpan dendam, marilah kita berusaha perlahan-lahan untuk membuka hati dan
memberikan maaf.
Perbuatan
baik Yesus ini mendapat tanggapan yang berbeda dari Kaum Farisi. Kaum Farisi
yang merasa diri sebagai orang suci mempertanyakan keputusan Yesus makan
bersama pemungut cukai dan orang berdosa. Bagi mereka, hal itu tidak semestinya
dan tidak patut dilakukan Yesus. Pemungut cukai memang bukan hanya dipandang
sebagai pendosa kelas kakap, tetapi juga sebagai musuh bersama. Ia dipandang
berdosa secara moral karena seringkali menagih melebihi apa yang ditentukan; ia
juga berdosa secara sosial-politis karena ia mengabdi kepentingan para penjajah
yakni bangsa Romawi. Ketika orang Farisi berkeyakinan bahwa orang berdosa
semestinya dijauhkan karena menjadi sumber penyakit sosial dalam hidup bersama,
Yesus justru menarik mereka dan mengarahkan mereka untuk bertobat. Sebab visi
Yesus jelas, ‘datang bukan untuk memanggil orang benar melainkan orang
berdosa.’
Kadang-kadang,
tingkah laku hidup harian kita juga memiliki kemiripan dengan orang Farisi. Sering
kali kita merasa diri sebagai orang suci, merasa diri lebih baik dari yang
lain, dan karena itu, merasa mempunyai alasan untuk memvonis yang lain sebagai
pendosa. Kita acapkali menggunakan tolok ukur diri kita sendiri untuk menilai
dan menghakimi orang lain. Kalau kita merasa diri baik dan memiliki keutamaan-keutamaan
ternteu, baiklah kita memanfaatkan hal baik itu untuk saling membantu dan
saling mendukung ke arah hidup bersama yang lebih baik. Belajar dari Yesus hari
ini, mari kita berusaha untuk saling membantu dan bukan saling menghakimi.
Sebab siapakah di antara kita yang tidak berdosa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar