Opsi
(Selasa, 22 Januari 2019)
Ibr. 6 : 10 – 20
Mrk. 2 : 23 – 28
Orang Farisi dalam bacaan
Injil hari ini mempersoalkan murid-murid Yesus yang memetik gandum pada hari
sabat. Bagi mereka, hal ini merupakan suatu tindakan yang tidak diperbolehkan,
terlepas dari apapun intensi tindakan itu. Posisi orang Farisi jelas, tidak ada
satu hal baikpun yang lahir dari pelanggaran terhadap hari sabat. Memetik bulir
gandum tentu saja tujuannya baik untuk mengenyangkan perut yang lapar, tetapi
hal itu menjadi tidak benar atau salah secara hukum karena dilakukan pada hari
sabat. Bagi orang Farisi, hukum harus diletakkan pada tingkatan paling tinggi;
dan setiap orang wajib mengikutinya. Manusia melayani hukum dan bukan hukum
untuk melayani kepentingan kemanusiaan.
Yesus melawan pola pikir
seperti ini. Bagi Yesus, hukum harus melayani kepentingan kemanusiaan. Kemanusiaan
dan cinta kasih ada pada tingkatan paling tinggi. Hukum yang menghancurkan
kemanusiaan dan mengekang tindakan cinta kasih harus diperbarui. ‘Hari sabat
diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari sabat.’ Keyakinan Yesus ini
dapat kita baca dengan jelas dalam berbagai mukjizat penyembuhan yang
dilakukannya pada hari sabat. Bagi Yesus, keselamatan manusia harus selalu
diutamakan. Dalam hukum Gereja, dalam kitab kanonik kemudian, selalu ditekankan
bahwa ‘keselamatan jiwa adalah hukum tertinggi.’
Dua hal pokok dapat kita petik
dari kisah ini. Pertama, kepatuhan
terhadap ritus-ritus agama tidak boleh melupakan kewajiban moral dan
mengabaikan cinta kasih. Orang Farisi terlampau mempersoalkan tindakan para
murid Yesus yang memetik gandum karena lapar, hingga melupakan kewajiban moral
mereka untuk membantu orang-orang yang lapar.
Kedua,
dengan mengambil contoh tindakan yang dilakukan Daud ketiak ia dan para pengiringnya
lapar, yakni memakan roti sajian yang sebenarnya hanya boleh dimakan oleh para
imam, Yesus sebenarnya mau mengingatkan orang Farisi agar jangan terlampau
cepat memvonis orang lain sebagai yang bersalah. Kita perlu memahami duduk
persoalan dengan jelas, sebelum memberikan penilaian.
Kadang-kadang, hal yang sama
juga kita buat dalam kehidupan harian kita. Kita begitu mudah memberikan
penilaian atau memvonis seseorang berdasarkan informasi yang sepotong-potong. Hal
ini kemudian diperparah oleh kecenderungan kita untuk berbagi informasi dan
penilaian yang sifatnya juga sepotong-sepotong tanpa mengonfirmasi kebenarannya.
Tindakan kita untuk berbagi informasi kadang-kadang lebih cepat dari pikiran
kita untuk mempertimbangkan dampak dari informasi sepotong yang kita bagikan
itu. Mari kita mengendalikan diri kita dari kecenderungan untuk mudah memvonis
sesama kita.
Tuhan memberkati kita.
(p.kristo,svd)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar