Senin, 21 Januari 2019

Opsi (Selasa, 22 Januari 2019)


Opsi
(Selasa, 22 Januari 2019)


Ibr. 6 : 10 – 20
Mrk. 2 : 23 – 28


Orang Farisi dalam bacaan Injil hari ini mempersoalkan murid-murid Yesus yang memetik gandum pada hari sabat. Bagi mereka, hal ini merupakan suatu tindakan yang tidak diperbolehkan, terlepas dari apapun intensi tindakan itu. Posisi orang Farisi jelas, tidak ada satu hal baikpun yang lahir dari pelanggaran terhadap hari sabat. Memetik bulir gandum tentu saja tujuannya baik untuk mengenyangkan perut yang lapar, tetapi hal itu menjadi tidak benar atau salah secara hukum karena dilakukan pada hari sabat. Bagi orang Farisi, hukum harus diletakkan pada tingkatan paling tinggi; dan setiap orang wajib mengikutinya. Manusia melayani hukum dan bukan hukum untuk melayani kepentingan kemanusiaan.

Yesus melawan pola pikir seperti ini. Bagi Yesus, hukum harus melayani kepentingan kemanusiaan. Kemanusiaan dan cinta kasih ada pada tingkatan paling tinggi. Hukum yang menghancurkan kemanusiaan dan mengekang tindakan cinta kasih harus diperbarui. ‘Hari sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari sabat.’ Keyakinan Yesus ini dapat kita baca dengan jelas dalam berbagai mukjizat penyembuhan yang dilakukannya pada hari sabat. Bagi Yesus, keselamatan manusia harus selalu diutamakan. Dalam hukum Gereja, dalam kitab kanonik kemudian, selalu ditekankan bahwa ‘keselamatan jiwa adalah hukum tertinggi.’

Dua hal pokok dapat kita petik dari kisah ini. Pertama, kepatuhan terhadap ritus-ritus agama tidak boleh melupakan kewajiban moral dan mengabaikan cinta kasih. Orang Farisi terlampau mempersoalkan tindakan para murid Yesus yang memetik gandum karena lapar, hingga melupakan kewajiban moral mereka untuk membantu orang-orang yang lapar.

Kedua, dengan mengambil contoh tindakan yang dilakukan Daud ketiak ia dan para pengiringnya lapar, yakni memakan roti sajian yang sebenarnya hanya boleh dimakan oleh para imam, Yesus sebenarnya mau mengingatkan orang Farisi agar jangan terlampau cepat memvonis orang lain sebagai yang bersalah. Kita perlu memahami duduk persoalan dengan jelas, sebelum memberikan penilaian.

Kadang-kadang, hal yang sama juga kita buat dalam kehidupan harian kita. Kita begitu mudah memberikan penilaian atau memvonis seseorang berdasarkan informasi yang sepotong-potong. Hal ini kemudian diperparah oleh kecenderungan kita untuk berbagi informasi dan penilaian yang sifatnya juga sepotong-sepotong tanpa mengonfirmasi kebenarannya. Tindakan kita untuk berbagi informasi kadang-kadang lebih cepat dari pikiran kita untuk mempertimbangkan dampak dari informasi sepotong yang kita bagikan itu. Mari kita mengendalikan diri kita dari kecenderungan untuk mudah memvonis sesama kita.

Tuhan memberkati kita. (p.kristo,svd)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar